Rabu, 22 April 2009

DISKRIMINASI PEREMPUAN

POLITIK DISKRIMINASI PEREMPUAN
Refleksi Hari Kartini

Oleh. Thalis Noor Cahyadi


Pemilu legislatif telah berlalu, berbagai persoalan muncul silih berganti, dari soal daftar pemilih tetap (DPT), kertas suara rusak, basah, salah kirim, penggelembungan suara (vote bubbling), money politics, hingga persoalan minimnya jumlah caleg perempuan yang mendapatkan kursi legislatif. Meski Undang-undang Pemilu Legislatif memberikan porsi 30% bagi perempuan dalam pencalonannya di partai politik, yang pada awalnya merupakan angin segar dan menjadi harapan besar bagi kaum perempuan untuk berkompetisi dalam berpolitik, sehingga banyak partai politik menempatkan caleg perempuan pada nomor-nomor “jadi”. Namun seiring bergantinya waktu dan tuntutan proses demokrasi terbuka, maka harapan itu menjadi ‘sirna’ manakala Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal yang mengatur mekanisme nomor ‘jadi’ menjadi suara terbanyak. Hasilnya, realitas politik kemudian berkata lain, diperkirakan hanya 5 persen caleg perempuan yang berhasil meraih kursi di parlemen baik di DPRD, DPR RI dan DPD.
Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan masih dalam posisi yang dinomor-duakan. Di tengah tradisi patternalistik di negeri ini, perjuangan perempuan haruslah mendapatkan dukungan dari banyak pihak, baik dari instrumen hukumnya (legal substance), yang berupa konstitusi dan peraturan perundang-undangan, maupun perangkat yang terkait dengan itu yakni pemerintah, lembaga negara, DPR serta masyarakat luas, jika tidak tentu nasib perempuan akan selalu termarginalisasi dan terdiskriminasi. Perjuangan ini tentu bukan hal mudah, berbagai kebijakan pemerintah dan parlemen baik pusat maupun daerah ternyata justru semakin diskriminatif terhadap perempuan.
Berdasarkan laporan pemantauan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) tentang kondisi pemenuhan hak-hak konstitusinal perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Propinsi menunjukkan bahwa begitu banyak perempuan selalu didiskriminasi dan menjadi korban kebijakan pemerintah daerah. Tercatat sebanyak 154 kebijakan daerah yang diterbitkan ditingkat propinsi (19 kebijakan), tingkat kabupaten/kota (134 kebijakan) dan ditingkat desa (1 kebijakan) antara tahun 1999 hingga 2009 menjadi sarana pelembagaan diskriminasi, baik dari tujuannya maupun sebagai dampaknya. Kebijakan daerah tersebut diterbitkan di 69 kabupaten/kota di 21 peopinsi dan lebih dari setengah kebijakan daerah yang diskriminatif itu (80 kebijakan) diterbitkan nyaris serentak, yaitu antara tahun 2003 dan 2005. Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur adalah enam (6) propinsi yang kabupatennya paling gemar menerbitkan kebijakan daerah yang diskriminatif. Hanya ada 23 kebijakan daerah di tingkat propinsi (4 kebijakan) , kabupaten/kota (16 kebijakan) dan desa (3 kebijakan) yang bertujuan memenuhi hak korban atas pemulihan.
Sebanyak 64 dari 154 kebijakan daerah tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pembataan hak kemerdekaan berekspresi (21 kebijakan yang mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalisasi perempuan (38 kebijakan tentang pemberantasan prostitusi dan 1 kebijakantentang larangan khalwat), dan pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kenanusiaan (4 kebijakan tentang buruh migran). Selebihnya, 82 kebijakan daerah mengatur tentang agama yang sesungguhnya merupakan kewenangan pusat dan telah berdampak pada pembatasan kebebasan tiap warga negara untuk beribadat menurut keyakinannya dan mengakibatkan pengucilan kelompok minoritas. Sembilan (9) kebijakan lainnya merupakan pembatasan atas kebebasan memeuluk agama bagi kelompok Ahmadiyah. Semua hak yang dibatasi atau dikurangi ini merupakan hak-hak konstitusional yang dijamin bagis etiap warga negara Indonesia tanpa keculai, terutama hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untukberbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dan hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif.
Dari fakta ini, kebijakan yang diskriminatif tersebut cenderung lahir dari praktik pengutamaan demokrasi prosedural. Praktik ini mengandung unsur politik pencitraan, mengakibatkan pembatasan partisipasi publik, menyerahkan ruang demokrasi untuk kehendak mayoritas, serta berjalan selaras dengan peniadaan perlindungan substantif, praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan (power abuse), serta pengaburan batas antara negara dan agama/moralitas.seluruh kecenderungan defisit demokrasi ini mengarahkan Indonesia pada kondisi kritis karena mempertaruhkan bangunan negara-bangsa Indonesia.

Habislah Terang Kembali Gelap
Jika Raden Ajeng Kartini pernah menulis “Habis Gelap Terbitlah Terang” sebagai cita-cita visionernya merubah kondisi perempuan, dari posisi konco wingking (teman belakang) menjadi konco kang diwongke (teman yang dumuliakan), melihat kondisi saat ini mungkin Kartini akan menulis kembali namun dengan judul yang berbeda “Habislah Terang Kembali Gelap”. Apa yang diperjuangkan Kartini untuk menyetarakan kedudukan perempuan menjadi kembali tertatih saat ini. Banyak perempuan berkualitas namun justru tak diberi kesempatan menerapkan kualitas dan kapasitasnya baik dipemerintahan maupun diparlemen. Banyak perempuan berpotensi namun justru dimandulkan. Berbagai kebijakan daerah yang diskriminatif dan menjadikan permepuan sebagai obyek politik daerah menjadi bukti bahwa dunia terang yang diidamkan oleh Kartini kembali gelap oleh arogansi dan egoisme para pemimpin negeri ini.
Kondisi ini tentu harus segera disadari oleh setiap perempuan dan mereka yang peduli terhadap perempuan untuk terus berjuang dan melakukan perlawanan secara konstitusional, baik melalui jalur hukum maupun dengan upaya pemberdayaan dan penguatan jaringan. Upaya hukum yang harus terus dilakukan adalah melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA) terhadap berbagai kebijakan daerah yang melanggar hak konstitusional kaum perempuan, meski upaya ini memerlukan waktu dan proses yang sangat lama namun paling tidak sebagai warga negara hukum, telah melakukan kesadaran dan menggunakan hak hukumnya. Hal ini telah dibuktikan terhadap kawan-kawan di Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Tolak Perda Larangan Pelacuran (ATPLP) yang mengajukan uji materi terhadap Perda No.5/2007 tentang Larang Pelacuran di Kabupaten bantul tanggal 1 Mei 2007, yang hingga ini tidak pernah tahu nasib perkembangannya, kerena MA tidak pernah memberikan informasi apapun. Satu-satunya berkas yang dimiliki adalah surat dari MA tertanggal 14 November 2007 tentang penerimaan dan registrasi berkas.
Ditinjau dari aspek yuridis sebenarnya, berbagai perda yang diterbitkan beberapa daerah tersebut mempunyai kedudukan yang lemah. Berdasarkan asas leg superior derogate leg inferior serta berdasar Undang-undang Nomor 20 tahun 2004, maka isi dari peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Fakta yang ada justru menunjukkan bahwa Perda telah meninggalkan dasar yuridis peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan berada diatasnya. Seperti Perda yang mengatur tentang agama (kewajiban harus bisa membaca al-Qur’an, khalwat, shalat Jum’at dll) jelas merupakan kewenangan pusat dan diatur oleh Konstitusi dan UU, sehingga Perda tidak berwenang mengaturnya.
Upaya hukum lain adalah meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan semua perda bermasalah tersebut, karena bagaimanapun juga Menteri Dalam Negeri berhak, berwenang dan berkewajiban menjadi sinergisitas antara peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah sesuai dengan UU. No.20 tahun 2004.
Selain itu, upaya yang harus dilakukan adalah mendorong dilakukannya legislative review terhadap Undang-undang yang mengatur kewenangan MK untuk bisa menerima, memeriksa dan memutuskan perkara-perkara uji materi terhadap perda-perda yang bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Upaya pemberdayaan kaum perempuan dan penguatan jaringan juga merupakan hal penting untuk terus dilakukan, baik dengan wujud pendidikan politik, civic education, serta pemantauan terhadap setiap kebijakan pemerintah yang berpotensi melahirkan diskriminasi terhadap perempuan.
Berbagai upaya ini tentu membutuhkan dukungan dari semua elemen masyarakat secara terpadu, karena bagaimanapun untuk melawan kekuatan kekuasaan membutuhkan energi yang besar. Penguatan kapasitas, pemberdayaan dan jaringan merupakan upaya cerdas yang harus terus dilakukan. Paling tidak upaya ini akan melahirkan kesadaran-kesadaran baru baik dari diri kaum perempuan itu sendiri maupun masyarakat luas untuk lebih mengerti akan hak-hak dasarnya yang memang dijamin oleh konstitusi. Wallahu’alam.