Selasa, 03 Februari 2009

Menyoal kembali PP. No 2 tahun 2008


PP. No.2/2008 dalam Perspektif Fiqh Kehutanan
Oleh. Thalis Noor Cahyadi

Persoalan lingkungan, terutama problem kehutanan di tanah air merupakan problem yang sangat krusial bagi bangsa ini. Menurut catatan Walhi, Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa, namun dalam catatan Greenpeace, Indonesia termasuk Negara yang memiliki rekor terbanyak melakukan kerusakan hutan di muka bumi ini, baik legal logging yang berlebihan (over cutting) maupun illegal logging yang tak terkendali bahkan seringkali di backingi. Akibatnya, dalam catatan World Resource Institute, 72% hutan asli kita menjadi lenyap dengan menyisakan kerusakan ekologi yang sangat merugikan. Sementara pelaku pembalakan dengan tenang berkeliaran, tanpa banyak dilakukan proses hukum yang maksimal oleh aparat yang berwenang.
Belum lagi permasalahan tersebut dituntaskan, pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. PP ini dipandang oleh berbagai kalangan terutama pemerhati lingkungan, sebagai satu kemunduran kebijakan. Mereka memandang bahwa kebijakan ini sangat pro-kapitalis terutama kapitalis asing, karena memberikan peluang yang begitu mudah dan murah (hanya Rp.300,-/m2) bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menggunakan lahan-lahan hutan sebagai area produksi dan pertambangan tanpa memperhatikan aspek ekologi selama dan paska pemakaian hutan. Bahkan saking murahnya, puluhan aktivis lingkungan iuran untuk bisa ikut menyewa hutan. Ini dilakukan sebagai kritik terhadap kebijakan yang tidak merakyat.

Dalam Kacamata Fiqh Kehutanan
Dalam pemikiran keislaman kontemporer (fikrah al-islamiy al-‘ashriy), persoalan lingkungan dibahas dalam fiqh lingkungan (fiqh al-biah). Isu hutan merupakan bagian dari fiqh lingkungan, namun penulis cenderung menyebutnya sebagai fiqh kehutanan atau fiqh al-ghabat.
Secara fundamental, Islam dalam sumber utamanya yakni al-Qur’an telah mengingatkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi (al-Baqarah;30). Tugas khalifah adalah memelihara seluruh isi bumi, terutama sumberdaya alamnya, termasuk hutan. Dalam fiqh al-ghabat, kepemilikan hutan berada ditangan umat atau masyarakat (al-milkiyah al-‘ammah) berdasarkan regulasi konstitusi yang disepakati. Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ibn Majah secara gamblang menyatakan bahwa kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api. Harganya (menjual-belikannya) adalah haram.
Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum yang tidak bisa dan tidak boleh diprivatisasi oleh Negara terlebih pemerintah. Ditinjau dari metodologi hukum Islam (ilm ushul al-fiqh), ketiga unsur tersebut (air, padang rumput dan api) memiliki kesamaan alasan dalam penetapan hukum (illah al-hukm) yakni aset yang menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Sehingga bentuk kekayaan alam apapun yang itu menjadi hajat hidup orang banyak haram hukumnya untuk di kelola dan komersilkan secara sepihak tanpa memperhatikan kemaslahatan umum, termasuk hutan.
Hutan merupakan asset yang menjadi hajat hidup orang banyak baik secara ekologis maupun sosial-ekonomi, yang jika ini diprivatisasi atau dikomersilkan secara sepihak apalagi oleh orang asing, akan menimbulkan dampak-dampak negatif bagi kepentingan umum.
PP. No. 2 tahun 2008, yang dikeluarkan pemerintah awal Ferbuari lalu, secara konten dan ‘gelagat’ kepentingan impelentasinya berpotensi menimbulkan kerugian dan kemadharatan bagi kepentingan kehidupan masyarakat luas. Secara ekonomi, masyarakat dirugikan dengan harga sewa pemakaian yang sangat murah dengan meniadakan kompensasi atas konservasi dan pemulihan hutan paska penggunaan hutan. Hasil sewanya pun tidak ada jaminan kembali ke Negara, tapi ke kantong-kantong pribadi.
Secara ekologis, PP ini berpotensi merusak ekosistem dan fungsi hutan bagi ribuan makhluk Tuhan yang hidup didalamnya. Ini akan berdampak pada kematian ribuan hewan dan punahnya ribuan jenis tumbuhan yang kemudian mengakibatkan berbagai bencana ikutan, seperti banjir, tanah longsor, meningkatnya suhu udara yang pada gilirannya merugikan kehidupan manusia.
Jika kerugian secara ekonomi dan ekologi terjadi, maka berikutnya bisa dipastikan akan terjadi benturan sosial (social-clash) secara horizontal diantara warga masyarakat, maupun terhadap perusahaan yang mengelola hutan, dan ini sangat merugikan dan mengancam jutaan nyawa manusia.
Dengan argumentasi ini, secara fiqh al-ghabat, PP ini harus dibatalkan, karena mengandung kemadharatan yang sangat merugikan. Rekomendasi ini sangat sesuai dengan kaidah hukum Islam (qawaid al-fiqhiyah) yang menyatakan bahwa segala bentuk kemudharatan atau hal yang membahayakan harus dihilangkan (ad-dhararu yuzal). Kaidah ini disandarkan secara kuat oleh nash, yakni al-Qur’an yang memberikan peringatan keras agar manusia tidak melakukan kerusakan di muka bumi “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya/wala tufsidu fil ardh ba’da ishlaiha”(al-A’raf; 56). Demikian juga dengan sabda Nabi “la dharara wa la dhirar” dimana jangan sampai kita mendatangkan bahaya atau jangan sampai kita membiarkan orang untuk bisa mendatangkan bahaya (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Sebagai pemimpin yang mengaku “Islam”, seharusnya pemerintahan saat ini, tahu dan memahami prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang telah diberikan oleh Islam. Islam mengajarkan seorang pemimpin untuk selalu menegakkan keadilan dan kemaslahatan bagi rakyatnya, termasuk persoalan lingkungan. Pemimpin berkewajiban untuk mengelola kekayaan alam untuk kemaslahatan dengan tanpa menegasikan kelestariannya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh “tasharruf al-Imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah", artinya bahwa setiap kebijakan Imam/pemimpin dalam mengatur rakyatnya haruslah berpatokan pada asas kemaslahatan (al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Al-Furu’).
Pada akhirnya, warga masyarakat berharap pemerintah segera membatalkan PP. No.2 tahun 2008 ini, serta berharap pemerintah lebih peduli terhadap persoalan lingkungan hidup dengan membuat kebijakan-kebijakan yang populis, pro-rakyat dan maslahah. Jika ini tidak dilakukan, maka bisa jadi pemerintahan saat ini akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat (people distrust). Wallahu a’lam bishawab

WAR AGAINST PRESS CRIMINALIZATION

WAR AGAINST PRESS CRIMINALIZATION
By Th. Noor Cahyadi

On Wednesday 20, 2008, Bersihar Lubis, a senior Journalist was sentenced 1 month prison with 3 months for trial period by the Judge of District Court, Depok, West Java. Several months ago, the Judge of District Court, Sleman, Jogjakarta, also sentenced Risang Wijaya, Ex-General Manager of Jawa Post-Radar Jogja for 8 months prison and then Supreme Court sentenced him for 6 months through cassation which he proposed. Risang and Bersihar cases are two of many cases of press criminalization in Indonesia. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) recorded that there were 75 cases happened during 2007. That increased too many for 2006, that occurred 57 cases.
The cases are ironic cases in the middle of Reformation Era, which freedom of expression and opinion are protected by our constitution including press freedom. Article 28 E, verse 2 and 3, UUD 1945 states it clearly. The rights also are protected by Human Rights Law No.39 tahun 1999, Civil and Political Rights Law No. 12 tahun 2005 and also Press Law No. 40 tahun 1999.
At Bersihar case, The Judge still uses Haatzai Artikelen of KUHP to sentence journalists who deemed offend the authority. The Judge deemed that Bersihar affronted Attorney General in his writing at Tempo newspaper on March 17, 2007 ago by title “Kisah Introgator yang Dungu”. According to the Judge, Bersihar was against the Law, especially article 207 of KUHP. In his column, Bersihar criticized Attorney General’s policy that prohibited books circulation of history lesson for SMP and SMU. According to him, the ban was done blindly without comprehensive research. He quoted Yusuf Isak speech at Indonesia Literature Day in Paris, October 2004. Yusuf Isak told when the attorney officer interrogated him related to publication of Pramudya Ananta Tour’s books. In English speech, Yusuf mentioned word “idiot”. From this word Bersihar used word “dungu”. According to the Judge that word ‘dungu” had a more heavy meaning than “stupid”, the Judge deemed that Bersihar did not only quote but also add new words. Therefore, he qualified the element of article 207 KUHP, he affronted the general authority.
If we try to look at the sentence with constitution law point of view, the Judge should not use article 207 KUHP as an argumentation. This article is a rubber article (Haatzai Artikelen) which has many interpretations. Word “affront” in that article does not have clear criteria that run the chance of being interpreted extend and implemented by the apparatus and the authority as they like. It means that critics can be interpreted as affront. So the interpretations disagree about democracy’s principles and violate the principle of legal security (rechtsonzekerheid).
The Judge should realize that KUHP is derived from Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch – Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), which applied based on Oendang-Oendang 1946 Nomor 1 about Peratoeran Hoekoem Pidana juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 about Stated Applying to Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 about Peraturan Hukum Pidana for All Area of Republic of Indonesia and changed Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. So that the articles of KUHP are inapplicable and not relevant as the matter stands.
Based on this argumentation, the Constitution Court (MK) declared off rubber articles (Haatzai Artikelen) at KUHP. MK issued two adjudication, they are adjudication No. 013-022/PUU-IV/2006 and No. 6/PUU-V/2007 that declared off articles 134, 136 bis and 137 KUHP, and articles 154 and 155 KUHP and stated that the articles disagreed about the Constitution of the Republic of Indonesia, UUD 1945 article 28 E, verse (2) and (3).
Although article 207 KUHP was not declared off yet by MK, but there is same spirit as articles above. The Judge should become the adjudication of MK as discretion to sentence. Moreover freedom of press is protected and ruled by Press Law No. 40 tahun 1999. The Judge should use this Law to sit in on judgment Bersihar, not use KUHP because this Law is special law for Journalism or press (lex specialis derogate lex generalis).

Against by Judicial Review and Legislative Review
According to writer, there are two ways to war against press criminalization. The first, Press Organizations which have legal standing can bring the articles of KUHP, such as articles 207 and 310 to the Constitution Court (MK) by Judicial Review. Press Organizations have to struggle to declare off the articles because they are always excessively used by the authority and the apparatus to abuse of power which aggrieve journalists. The second, we can propose legislative review to the parliament (DPR). Writer looked that Press Law has many weaknesses. No one of 21 articles of Press Law which loads verses which regulate calumniation, humiliation or aspersion, whereas KUHP loads them. This is one of the reasons of the apparatus (police, attorney, and judge) prefer to use KUHP. Even, in the explanation of article 12 press law ran the chance using KUHP; “…as long as about criminal responsibility refers to the Law prescribes”. Therefore, the Press Council of Indonesia should prepare an amendment of press law which can be applied as lex specialis from KUHP.
However, if we try to think smart that press freedom were ruled by press Law is a mandate of the constitution of the republic of Indonesia, so that everyone, both citizen and state authority, must respect. Using rights to answer as would be regulated by Press Law should be as first way to take when someone feels aggrieved by press, and press must rectify and clarify to public. Through this way we can solve and finish fast the problem and more cost effective.
Finally, freedom of expression both opinion and press needs an awareness and responsible behavior, both media, state authority, and community. Democracy will not run well without awareness and maturity. Our community hopes press able to increase human resources and still able to control the government’s policy. If both function of education and function of controlling runs consecutively so press will be the first pillar of democracy in Indonesia.

tanya-jawab hukum (3)

Nebis in Idem

Pertanyaan:
Apakah seseorang yang dibebaskan dalam Peradilan Pidana dapat menuntut haknya kembali dalam Peradilan Perdata dengan dasar Pencemaran Nama Baik? Apakah gugatan tersebut dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem? Karena Pokok Perkaranya sudah pernah diperiksa di Pengadilan Pidana? Hutagalung, Depok Sleman Terima Kasih

Jawaban
Seseorang yang dilaporkan sebagai Tersangka dan dibebaskan dalam putusan pengadilan pidana, sesungguhnya dia tidak bisa menuntut melalui gugatan perdata. Secara tegas, hal ini sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi & Korban yaitu Pasal 10 (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Dalam praktek, seorang korban yang "merasa" hak-nya dirugikan karena adanya dugaan tindak pidana, telah melaporkan ke polisi, dan terlapor-pun sempat ditahan. Namun dalam proses persidangan pidana si-terdakwa dinyatakan bebas. Kemudian si-terdakwa yg bebas ini menggugat perdata kepada si-pelapor [yg menjadi tergugat], dan nyatanya gugatan ini ditolak oleh Majelis Hakim Perdata. Karena sesungguhnya untuk melaporkan suatu dugaan tindak pidana adalah Hak Asasi Manusia. Walaupun si-terlapor tidak terbukti bersalah [dia bebas karena putusan hakim pidana], maka perbuatan si-pelapor bukan merupakan perbuatan melawan hukum : lihat pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi & Korban, dan didukung pula oleh beberapa yurisprudensi yang salah satunya Putusan MA Tgl. 30 Desember 1975 No.562 K/Sip/1973. Jadi tidak ada unsur kesalahan pencemaran nama baik, karena seseorang melaporkan pidana dengan putusan bebas terhadap si-tersangka/terdakwa. Upaya hukum yang bisa dilakukan bagi si-tersangka, adalah mengajukan permohonan pra-peradilan untuk menuntut rehabilitasi atau ganti rugi kepada penyidik kepolisian atau JPU. Tetapi yg perlu diketahui, bahwa suatu putusan rehabilitasi, biasanya sudah langsung tertera pada putusan yang membebaskan si-tersangka. Jadi tinggal menuntut ganti rugi saja.