Minggu, 29 Maret 2009

DPS DAN BMT BERKASUS

DPS DAN BMT BERKASUS
Oleh. Thalis Noor Cahyadi

Akhir-akhir ini kita sering membaca di berbagai media cetak tentang kasus ketidak-beresan beberapa lembaga keuangan berbasis syariah (LKS), semisal BMT (Baitul Mal Watanwil) di Propinsi Yogyakarta. Mulai dari pencairan dana nasabah yang macet, sampai praktek penipuan dan penggelapan dana nasabah oleh pengelolanya. Beberapa kasus telah ditangani petugas instansi berwenang, meskipun dana nasabah kemungkinan tetap tak kembali, baik dikarenakan tersangkanya kabur (DPO) maupun memang sudah tak memiliki dana apapun untuk mengembalikan dana nasabah tersebut..
Fenomena ini sedikit banyak berdampak pada kepercayaan masyarakat terutama orang awam untuk menginvestasikan dananya atau bekerjasama dengan LKS. Persoalan manajemen dan integritas para pengelolanya menjadi hal mendasar terjadinya kasus-kasus tersebut. Ditinjau dari aspek manajemen, lembaga keuangan berbasis syariah yang ‘berkasus’ cenderung mengabaikan prinsip-prinsip fundamental tentang pengelolaan keuangan yang sehat, terutama dalam aspek pembiayaan sangatlah lemah.
Paling tidak ada sepuluh faktor kelemahan dari sisi menejemen. Pertama, lemah dalam analisa pembiayaan seperti data kurang akurat, pembiayaan terlalu sedikit, pembiayaan terlalu banyak, jangka waktu terlalu lama atau jangka waktu terlalu pendek. Kedua, kelemahan dalam hal dokumentasi, terkadang data mengenai pembiayaan anggota tidak terdokumentasikan dengan baik, pengawasan atas fisik dokumen kurang. Ketiga, kelemahan dalam hal supervisi pembiayaan seperti pengawasan yang kurang rutin, tindakan pencegahan kurang dini, anggota terlalu banyak, atau anggota terpencar domisilinya.
Keempat, kelemahan dan kecerobohan petugas lapangan, seperti terlalu bernafsu memperoleh laba, terlalu kompromistis, tidak memiliki kebijakan yg matang, terlalu percaya dan menggampangkan masalah, tidak mampu menyaring resiko bisnis, kurang proaktif dan terlalu reaktif. Keenam, kelemahan kebijakan pembiayaan, seperti prosedur terlalu berbelit, hingga putusan pembiayaan tidak tepat waktu, prosedur terlalu longgar, tidak ada prosedur baku/standar, tidak ada reward and punishment bagi petugas. Ketujuh, kelemahan legalitas agunan/jaminan.
Kedelapan, kelemahan sumber daya manusia seperti tidak adanya petugas khusus, pendidikan, pengalaman terbatas, dan kurangnya tenaga ahli hukum. Kesembilan, kelemahan penggunakan teknologi, sehingga selalu mengalami keterlambatan informasi dan komunikasi dan kesepuluh, adanya kecurangan petugas, seperti adanya kepentingan pribadi; untuk usaha pribadi, mendapat bagian dari anggota, berhutang budi pada anggota dan disiplin terhadap penerapan kebijakan sangat lemah.
Di samping sepuluh kelemahan di atas, dalam pengamatan penulis di mana penulis juga terlibat aktif dalam mendampingi para nasabah beberapa LKS berkasus, faktor kerancuan kepemilikan dan kepengelolaan dalam statuta pendirian LKS seringkali juga menimbulkan permasalahan. Sebuah LKS semisal BMT, kebanyakan berada dibawah naungan sebuah Yayasan yang mendirikannya, sementara pendiri, pembina atau pengurus Yayasan juga terlibat aktif dalam kepengelolaan BMT tersebut. Menurut Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, Pasal 7 ayat 3 yang menjelaskan bahwa Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha yang didirikan Yayasan tersebut. Kasus penggelapan dana nasabah sebesar Rp. 8 Milyar pada salah satu BMT di Yogyakarta beberapa waktu lalu terkait erat dengan kepengurusan ganda sebagaimana dijelaskan di atas.
Faktor rendahnya integritas moral para pengelolanya juga menjadi pemicu buruknya manajemen. Seorang atau sekelompok orang, maupun badan hukum yang mendirikan LKS tentunya harus telah siap menerapkan prinsip-prinsip syariah yang menjunjung tinggi moralitas dan akuntabilitas. Disamping itu mereka juga harus siap menjauhkan diri dari berbagai karakter yang merusak seperti prilaku dhalim yang merugikan semua aspek dan semua pihak, termasuk prilaku dharar yang membahayakan kepentingan banyak orang, maysir yang cenderung bersifat gambling dan spekulatif, serta prilaku gharar atau menipu, yang juga berpotensi merugikan banyak orang dan banyak aspek, yang pada akhrinya mengkerdilkan kepercayaan masyarakat (people distrust) akan lembaga keuangan syariah secara umum.
Peran Penting DPS
Berbagai kasus yang menimpa LKS di atas juga tidak terlepas dari lemahnya pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dalam strukturnya paling tidak ada empat tugas utama yang harus dijalankan oleh DPS; Pertama, mengawasi kegiatan usaha LKS agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syari'ah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Kedua, membuat pernyataan secara berkala bahwa LKS yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syari'ah. Ketiga, meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari LKS yang diawasinya dan Keempat, mengawal dan menjaga penerapan nilai-nilai Islam dalam setiap aktifitas yang dikerjakan LKS.
Disamping itu DPS juga memiliki tiga kewajiban utama yakni pertama, mengikuti fatwa-fatwa DSN. Kedua, mengawasi kegiatan usaha LKS agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syari'ah yang telah difatwakan oleh DSN, dan ketiga, melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan LKS yang diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun.
Dari tugas dan kewajiban yang dibebankan, DPS memiliki fungsi dan peran yang sangat vital terhadap prilaku pengelola dan keabsahan produk dari sebuah LKS. Namun pada kenyataanya sering kali DPS hanya menjadi sebuah simbol pelengkap dan formalitas dalam sebuah LKS. Tidak jarang pula DPS tidak melakukan kerja apapun, tetapi selalu mendapat insentif bahkan tak jarang pula fungsi DPS tunduk pada keinginan “pemilik” LKS. Dalam strukturnya pula tak sedikit seorang DPS yang merangkap DSN sehingga independensi dapat diragukan. Hal ini bertolak belakang dengan kualifikasi seorang yang akan menjadi anggota DPS yang antara lain ia harus memiliki akhlak yang mulia (akhlaq al-karimah). Ia juga harus memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum, memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syariah dan memiliki kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari DSN.
Melihat kualifikasi, tugas dan kewajiban DPS, maka selayaknyalah DPS mampu mengontrol ketat prilaku LKS, baik dari aspek hukum atas produknya juga integritas moral para pengelolanya. DPS dituntut untuk benar-benar menjalankan tugas dan kewajibannya sehingga LKS dapat benar-benar menjadi apa yang diharapkan dan sesuai dengan prinsip syariah. Jika ini benar-benar dapat dilaksanakan secara baik, maka berbagai kasus yang terjadi sebagaimana dicontohkan di atas, tentu tidak akan terjadi. Nasabah dan masyarakat luas juga dituntut untuk ikut berpartisipasi dalam mengawasi dan mengontrol prilaku LKS yang ada. Sementara pengelola LKS juga harus selalu berupaya mengevaluasi dan memperkabaiki diri baik dari manajerial pengelolaannya maupun sumberdaya manusianya.
Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yakni: keadilan (fairness), transparansi (transparency, akuntabilitas (accountability, tanggung jawab (responsibility), moralitas (morality), komitmen (commitment), kemandirian (independent) menjadi hal yang urgent bagi LKS, meskipun sebenarnya LKS memiliki berbagai prinsip syariah dalam pengelolaan institusi yang baik seperti prinsip ’adalah (keadilan), tawazun (keseimbangan), mas’uliyah (akuntabilitas), akhlaq (moral), shiddiq (kejujuran), amanah (pemenuhan kepercayaan), fathanah (kecerdasan), tabligh (transparansi, keterbukaan), hurriyah (independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab), ihsan (profesional), wasathan (kewajaran), ghirah (militansi), idarah (pengelolaan), khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), ijabiyah (berfikir positif), raqabah (pengawasan), qira’ah dan ishlah (organisasi yang terus belajar dan selalu melakukan perbaikan).
Pada akhirnya, jika manajemen LKS mampu mengimplementasikan nilai-nilai diatas dengan ditopang sumberdaya manusia yang tangguh dan berkualitas serta diiringi dengan fungsi pengawasan dan kerja DPS yang baik dan benar, maka LKS akan mampu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat luas (people trust) dan berbagai kasus yang terjadi diatas tidak akan terualang lagi. Wallahu a’lam.